Banyak
fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh
para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah
tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan
mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?
Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah k berfirman:
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Al-Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi t menyatakan
dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap
suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh
istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)
Karena
itulah Ibnu ‘Abbas c berkata, “Aku senang berhias untuk istriku
sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang
Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”
Adh-Dhahhak
t berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah l
dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk
membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan
gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan
kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari,
2/466)
Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata dalam
tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh
suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap
suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan
masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf
(yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri
masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.”
(Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah z. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah n:
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah n menjawab:
“Engkau
beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila
engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan
menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di
dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Ketika haji Wada’, Rasulullah n menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
“Ketahuilah,
kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun
memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka
tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk
menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang
yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka
terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal
pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah
no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
Dari ayat di atas berikut
beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah n di atas, kita
memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan
diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini
termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana
wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga
diberikan hak-hak yang seimbang.
Dalam rubrik
Mengayuh Biduk kali ini, kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak
istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai
penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas
hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam
edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri
lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya
hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami
harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan
pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan
hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak
istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami. Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:
1. Mendapat mahar
Dalam
pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang
dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah k:
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)
Dari
As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan
Rasulullah n kepada seorang sahabatnya yang ingin menikah sementara
sahabat ini tidak memiliki harta:
“Lihatlah apa yang bisa engkau
jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.”
(HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2
Al-Imam Ibnu
Qudamah t berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang
disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)
Mahar
merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan
memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat.
Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau
selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si
wanita. Allah k mengingatkan:
“Dan jika kalian ingin mengganti
salah seorang istri dengan istri yang lain3, sedangkan kalian telah
memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta
yang banyak4, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta
tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali
dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?”
(An-Nisa`: 20)
2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia
Allah k berfirman:
“Bergaullah
kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai
mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Rasulullah n bersabda:
“Mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan
sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir t ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas,
menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para
istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai
kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian,
maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah k berfirman
dalam hal ini:
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah n sendiri telah bersabda:
“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan
aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga
(istri)-ku.”
Termasuk akhlak Nabi n, beliau sangat baik
pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri,
suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap
lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah
serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak
‘Aisyah Ummul Mukminin x berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan
cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Masih
keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir t: “(Termasuk cara Rasulullah n dalam
memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau
biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran
malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan
malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke
rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam
satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur
dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau n masuk rumah dan
berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna
menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
3. Mendapat nafkah dan pakaian
Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:
“…dan
kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
“Hendaklah
orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan
kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia
memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq:
7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t ketika menafsirkan ayat dalam surah
Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi
seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan
anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan
kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para
wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi,
sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan
didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin
Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula
hadits ‘Aisyah x, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah x, istri Abu
Sufyan z datang mengadu kepada Rasulullah n:
“Wahai Rasulullah,
sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak memberiku nafkah yang
dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari
hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah n, “Ambillah
dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu
dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam
An-Nawawi t berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di
antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah
n ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan
menyanjung Allah l, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian
bersabda:
“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada
para wanita (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di
tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya
itu8, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka
bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka
menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka.
Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka
pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah
mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak
permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian
benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian
adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan
makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841,
dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam
Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus
tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan
anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan
dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).
Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
“Hendaklah
orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan
kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia
memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq:
7)
4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal
Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)
adalah
seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di
samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat
tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia
yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta
memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana
layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai
kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.
5. Wajib berbuat adil di antara para istri
Bila
seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk
berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama,
memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku
adil ini ditunjukkan dalam firman Allah k:
“…maka nikahilah
wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika
kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya
maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan
yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk
tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah z, ia menyampaikan sabda Rasulullah n:
“Siapa
yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah)
kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam
keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud
no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan
Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil
dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang
lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan
di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku
adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan
pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan
Nisa`)
Al-Imam Asy-Syaukani t menyatakan, datangnya si suami
dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak
berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu
wajib. Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum
seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar,
2/314)
Keharusan berbuat adil yang Allah k wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:
“Dan
kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri
kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai
sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`:
129)
Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di
antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil
yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang
kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan
hati dan cinta.
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari
t berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di
antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada
mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati
kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain.
Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di
bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di
antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Masih kata Al-Imam
Ath-Thabari t, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan)
dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga
membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan
meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak
pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri
yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti
wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir
Ath-Thabari, 4/312)
Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil
dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya
kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk
menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang
condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak.
(Al-Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)
Al-Imam
An-Nawawi t berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian
giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan
istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)
6. Dibantu untuk taat kepada Allah k, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama
Seorang
suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi
bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi,
dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah
yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau
membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.
Allah k berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….”
(At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang
mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka,
dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah k, serta melarang
mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari
keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah k. Bila ia
mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan.
(Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781)
Hadits
Malik ibnul Huwairits z juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri.
Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah n dan ketika itu kami adalah
anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota
Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau n adalah seorang
yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau
menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah
dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita
tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:
“Kembalilah
kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari
mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan
Muslim no. 1533)
Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada
istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam
Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah
dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke
dalam fitnah. Apatah lagi Rasulullah n telah bersabda:
“Ada dua
golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat,
pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang
dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian
tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari
kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong.
Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga,
padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan
itu.” (HR. Muslim no. 5547)
7. Menaruh rasa cemburu kepadanya
Seorang
suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan
ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya
bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang
laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya
berduaan dengan sopir pribadinya.
Suami yang memiliki rasa cemburu
kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada
perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari
kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah z pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
“Seandainya
aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul
laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang
tumpul)11.”
Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi n mencelanya. Bahkan beliau n bersabda:
أَ“Apakah
kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu
daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari
dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas c yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan
bahwa tatkala turun ayat:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita
baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi,
maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan
kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)
Berkatalah
Sa’d bin ‘Ubadah z: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku
dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak
boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku
tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas
menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah n
bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar
apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun
menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia
seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah
dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila
dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang
berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang
sangat.”
Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai
Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah l, akan
tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)
Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:
1. Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab
Allah k berfirman kepada Nabi-Nya:
“Wahai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta
wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab
mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka
untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga
mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”
(Al-Ahzab: 59)
2. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:
“Katakanlah
kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian
pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 31)
3. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.
“…
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa
tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka
menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka
tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau
ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di
hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di
hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki
mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka,
atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki,
atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak
laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur:
31)
4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.
Rasulullah n bersabda:
“Hati-hati
kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau
menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no.
5638)
5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti
bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di
lingkungan yang rusak.
Seorang suami hendaklah
memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan
istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.
Demikianlah… Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Judul Asli: Hak Istri dalam Islam
Oleh : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
www.asysyariah.com
Wadah bagi yang serius Nikah:
http://www.ayonikah.com/?mitra=fatehah
Catatan Kaki:
1
Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci
makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau
yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah
‘ala Zaujiha)
2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z, ia berkata: Seorang wanita datang menemui
Rasulullah n seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk
menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah n pun mengangkat pandangannya
kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan
kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah n tidak memutuskan
apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.
Berdirilah seorang
lelaki dari kalangan sahabat beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah,
bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya.”
Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan
mahar?”
“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si
lelaki. “Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau
mendapatkan sesuatu,” titah Rasulullah n.
Laki-laki itu pun
pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, “Aku tidak
mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Lihatlah dan
carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”
Laki-laki itu pergi
lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, “Tidak ada, demi
Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku
(kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya –kata
Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian,
sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)”-. Rasulullah n bertanya,
“Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai
berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau
ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”
Si
lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah n
melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika
si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang
engkau hapal dari Al-Qur`an?” “Aku hapal surah ini, surah itu –ia
menyebut beberapa surah–,” jawabnya.
“Apakah engkau hapal
surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, –pent.)?” tanya
Rasulullah n lagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah
nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an
yang engkau hapal.”
3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).
4
Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan
kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat
banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
5 Hindun tidaklah
menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya.
Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana
suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini
tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena
betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal
tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih
mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang
lain). (Fathul Bari, 9/630)
6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”
7
Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna
ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan
terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)
8
Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk
suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan
suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
10
Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil
Qismi Bainan Nisa`)11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu
dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya.
Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud
membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan
bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk
ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)
12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)
13
Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar
daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan
fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar
biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya
tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda
halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).
Yang dimaksud
dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak
laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan
mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan
tidak disifati dengan maut.
Adapun yang disifati dengan maut
adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami,
dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita
(dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan
orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar
dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan
yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada
pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj, 14/378)