KEPADA
yth : PARA GURU DAN STAF PEGAWAI DAN PENGURUS YAYASAN LINGKUP YAYASAN
PENDIDIKAN GURUTA GOWA AGAR DAPAT MENGIKUTI RAPAT PADA SABTU, 22
PEBRUARI 2014 JAM 10.00 WITA S/D SELESAI BERTEMPAT DI GEDUNG MTs
DARUSSALAM MANUJU,
MENGINGAT PENTINGNYA AGENDA INI DIHARAPKAN HADIR TEPAT WAKTU
TTD. KETUA YAYASAN
HARDIYANSAH, SH
ADVERTISER
Senin, 17 Februari 2014
Kamis, 13 Februari 2014
Sholat Dhuha

Sholat dhuha
atau sholat sunah dhuha merupakan sholat sunah yang dikerjakan pada
waktu dhuha. Waktu dhuha merupakan waktu dimana matahari telah terbit
atau naik kurang lebih 7 hasta hingga terasa panas menjelang shalat
dzhur. atau sekitar jam 7 sampai jam 11, tentunya setiap daerah berbeda,
tergantung posisi matahari pada daerah masing-masing. Sholat dhuha
sebaiknya dikerjakan pada seperempat kedua dalam sehari, atau sekitar
pukul sembilan pagi. Sholat dhuha dilakukan secara sendiri atau tidak
berjamaah (Munfarid)
Niat Sholat dhuha
Untuk niat sholat dhuha hampir sama dengan sholat sunah lainnya, yaitu sebagai berikutUshallii sunnatadh-dhuhaa rak’ataini lillaahi ta’aalaa
arti dalam bahasa Indonesia :
Tata cara sholat dhuha
Tata cara sholat dhuha hampir sama dengan sholat sunah pada umumnya,- Setelah membaca niat seperti yang telah tertulis diatas kemudian membaca takbir,
- Membaca doa Iftitah
- Membaca surat al Fatihah
- Membaca satu surat didalam Alquran. Afdholnya rakaat pertama membaca surat Asy-Syam dan rakaat kedua surat Al Lail
- Ruku’ dan membaca tasbih tiga kali
- I’tidal dan membaca bacaannya
- Sujud pertama dan membaca tasbih tiga kali
- Duduk diantara dua sujud dan membaca bacaanya
- Sujud kedua dan membaca tasbih tiga kali
- Setelah rakaat pertama selesai, lakukan rakaat kedua sebagaimana cara diatas, kemudian Tasyahhud akhir setelah selesai maka membaca salam dua kali. Rakaat-rakaat selanjutnya dilakukan sama seperti contoh diatas.
Jumlah rakaat sholat dhuha
Sholat dhuha dilakukan dalam satuan dua rakaat satu kali salam. Sementara itu untuk berapa jumlah maksimal sholat dhuha ada pendapat yang berbeda dari para ulama, ada yang mengatakan maksimal 8 rakaat, ada yang maksimal 12 rakaat, dan ada juga yang berbedapat tidak ada batasan.Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perbedaan pendapat jumlah rakaat sholat dhuha silahkan simak penjelasan yang kami kutip dari konsultasi syariah di bawah ini
Pertama, jumlah rakaat maksimal adalah delapan rakaat. Pendapat ini dipilih oleh Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalil yang digunakan madzhab ini adalah hadis Umi Hani’ radhiallaahu ‘anha, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya ketika fathu Mekah dan Beliau shalat delapan rakaat. (HR. Bukhari, no.1176 dan Muslim, no.719).
Kedua, rakaat maksimal adalah 12 rakaat. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanafi, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat lemah dalam Madzhab Syafi’i. Pendapat ini berdalil dengan hadis Anas radhiallahu’anhu
من صلى الضحى ثنتي عشرة ركعة بنى الله له قصرا من ذهب في الجنة
“Barangsiapa yang shalat dhuha 12 rakaat, Allah buatkan baginya satu istana di surga.” Namun hadis ini termasuk hadis dhaif. Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibn Majah, dan Al-Mundziri dalam Targhib wat Tarhib. Tirmidzi mengatakan, “Hadis ini gharib (asing), tidak kami ketahui kecuali dari jalur ini.” Hadis ini didhaifkan sejumlah ahli hadis, diantaranya Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhis Al-Khabir (2: 20), dan Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah (1: 293).
Ketiga, tidak ada batasan maksimal untuk shalat dhuha. Pendapat ini yang dikuatkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Hawi. Dalam kumpulan fatwanya tersebut, Suyuthi mengatakan, “Tidak terdapat hadis yang membatasi shalat dhuha dengan rakaat tertentu, sedangkan pendapat sebagian ulama bahwasanya jumlah maksimal 12 rakaat adalah pendapat yang tidak memiliki sandaran sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafidz Abul Fadl Ibn Hajar dan yang lainnya.”. Beliau juga membawakan perkataan Al-Hafidz Al-’Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi, “Saya tidak mengetahui seorangpun sahabat maupun tabi’in yang membatasi shalat dhuha dengan 12 rakaat. Demikian pula, saya tidak mengetahui seorangpun ulama madzhab kami (syafi’iyah) – yang membatasi jumlah rakaat dhuha – yang ada hanyalah pendapat yang disebutkan oleh Ar-Ruyani dan diikuti oleh Ar-Rafi’i dan ulama yang menukil perkataannya.”
Setelah menyebutkan pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, As-Suyuthy menyebutkan pendapat sebagian ulama malikiyah, yaitu Imam Al-Baaji Al-Maliky dalam Syarh Al-Muwattha’ Imam Malik. Beliau mengatakan, “Shalat dhuha bukanlah termasuk shalat yang rakaatnya dibatasi dengan bilangan tertentu yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, namun shalat dhuha termasuk shalat sunnah yang boleh dikerjakan semampunya.” (Al-Hawi lil fataawa, 1:66).
Kesimpulan dan Tarjih
Jika dilihat dari dalil tentang shalat dhuha yang dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam jumlah rakaat maksimal yang pernah beliau lakukan adalah 12 rakaat. Hal ini ditegaskan oleh Al-’Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi dan Al-’Aini dalam Umdatul Qori Syarh Shahih Bukhari. Al-Hafidz Al ‘Aini mengatakan, “Tidak adanya dalil –yang menyebutkan jumlah rakaat shalat dhuha– lebih dari 12 rakaat, tidaklah menunjukkan terlarangnya untuk menambahinya.” (Umdatul Qori, 11:423)
Setelah membawakan perselisihan tentang batasan maksimal shalat dhuha, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang benar adalah tidak ada batasan maksimal untuk jumlah rakaat shalat dhuha karena:
- Hadis Mu’adzah yang bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat dhuha?” Jawab Aisyah, “Ya, empat rakaat dan beliau tambahi seseuai kehendak Allah.” (HR. Muslim, no. 719). Misalnya ada orang shalat di waktu dhuha 40 rakaat maka semua ini bisa dikatakan termasuk shalat dhuha.
- Adapun pembatasan delapan rakaat sebagaimana disebutkan dalam hadis tentang fathu Mekah dari Umi Hani’, maka dapat dibantah dengan dua alasan: pertama, sebagian besar ulama menganggap shalatnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika fathu Mekah bukan shalat dhuha namun shalat sunah karena telah menaklukkan negeri kafir. Dan disunnahkan bagi pemimpin perang, setelah berhasil menaklukkan negri kafir untuk shalat 8 rakaat sebagai bentuk syukur kepada Allah. Kedua, jumlah rakaat yang disebutkan dalam hadis tidaklah menunjukkan tidak disyariatkannya melakukan tambahan, karena kejadian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat delapan rakaat adalah peristiwa kasuistik –kejadian yang sifatnya kebetulan– (As-Syarhul Mumthi’ ‘alaa Zadil Mustaqni’ 2:54).
Doa sholat dhuha
Do’a Shalat Dhuha bahasa Arab :Berikut ini merupakan bacaan doa sholat dhuha dalam bahasa arab
اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقَى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ
Do’a Shalat Dhuha bahasa indonesia
Sedangkan bagi yang belum bisa membaca tulisan Arab, bisa membaca tekst latin di bawah ini
Allahumma innadh dhuha-a dhuha-uka, wal bahaa-a bahaa-uka, wal jamaala jamaaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrata qudratuka, wal ishmata ishmatuka. Allahuma inkaana rizqi fis samma-i fa anzilhu, wa inkaana fil ardhi fa-akhrijhu, wa inkaana mu’asaran fayassirhu, wainkaana haraaman fathahhirhu, wa inkaana ba’idan fa qaribhu, bihaqqiduhaa-ika wa bahaaika, wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika, aatini maa ataita ‘ibadakash shalihin.
Artinya doa sholat dhuha
Di bawah ini merupakan arti dari bacaan sholat dhuha
“Ya
Allah, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah
keagunan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah
kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Ya Allah, apabila rezekiku
berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi
maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah,
apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai
Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada
hamba-hambaMu yang soleh”.
Semoga artikel mengenai panduan sholat dhuha
yang dilengkapi dengan bacaan niat dan doa sholat dhuha di atas bisa
bermanfaat bagi. Rajinlah sholat dhuha setiap pagi. Semoga selalu
berlimpah pahala dari Allah SWT, mendapatkan rezki halal dan baik bagi
dunia dan akhirat. Aamiin.
Selasa, 04 Februari 2014
Hak-hak Istri dalam Islam
Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah k berfirman:
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi t menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)
Karena itulah Ibnu ‘Abbas c berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”
Adh-Dhahhak t berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah l dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)
Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah z. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah n:
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah n menjawab:
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Ketika haji Wada’, Rasulullah n menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah n di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.
Dalam rubrik Mengayuh Biduk kali ini, kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:
1. Mendapat mahar
Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah k:
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)
Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah n kepada seorang sahabatnya yang ingin menikah sementara sahabat ini tidak memiliki harta:
“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)
Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah k mengingatkan:
“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)
2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia
Allah k berfirman:
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Rasulullah n bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah k berfirman dalam hal ini:
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah n sendiri telah bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”
Termasuk akhlak Nabi n, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin x berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir t: “(Termasuk cara Rasulullah n dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau n masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
3. Mendapat nafkah dan pakaian
Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah x, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah x, istri Abu Sufyan z datang mengadu kepada Rasulullah n:
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah n, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah n ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah l, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).
Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal
Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)
adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.
5. Wajib berbuat adil di antara para istri
Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah k:
“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah z, ia menyampaikan sabda Rasulullah n:
“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
Al-Imam Asy-Syaukani t menyatakan, datangnya si suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib. Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar, 2/314)
Keharusan berbuat adil yang Allah k wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`: 129)
Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta.
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari t berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Masih kata Al-Imam Ath-Thabari t, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)
6. Dibantu untuk taat kepada Allah k, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama
Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.
Allah k berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah k, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah k. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781)
Hadits Malik ibnul Huwairits z juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah n dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau n adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)
Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah. Apatah lagi Rasulullah n telah bersabda:
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)
7. Menaruh rasa cemburu kepadanya
Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.
Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah z pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)11.”
Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi n mencelanya. Bahkan beliau n bersabda:
أَ“Apakah
kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu
daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari
dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas c yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan
bahwa tatkala turun ayat:“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)
Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah z: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah n bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”
Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah l, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)
Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:
1. Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab
Allah k berfirman kepada Nabi-Nya:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
2. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 31)
3. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.
“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)
4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.
Rasulullah n bersabda:
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)
5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak.
Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.
Demikianlah… Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Judul Asli: Hak Istri dalam Islam
Oleh : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
www.asysyariah.com
Wadah bagi yang serius Nikah: http://www.ayonikah.com/?mitra=fatehah
Catatan Kaki:
1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)
2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah n seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah n pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah n tidak memutuskan apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.
Berdirilah seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya.” Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?”
“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si lelaki. “Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” titah Rasulullah n.
Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, “Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”
Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, “Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya –kata Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)”-. Rasulullah n bertanya, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”
Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah n melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?” “Aku hapal surah ini, surah itu –ia menyebut beberapa surah–,” jawabnya.
“Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, –pent.)?” tanya Rasulullah n lagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal.”
3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).
4 Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
5 Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)
6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”7 Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)
8 Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
10 Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)
12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)
13 Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).
Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.
Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj, 14/378)
AKHLAQ MULIA SANG ISTRI SOLEHAH
إذَا دَعَا
الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إلىَ فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian sang istri menolaknya yang pada akhirnya suami tidak senang di malam itu, maka sang istri dilaknat para malaikat sampai subuh. (HR. Muttafaq Alaeh)
Pustaka : Bustanul Akhbar, Juz 4 hal. 402
Hadits ini masih bercerita seputar wanita yang solehah, karena memang dari tangan wanita-lah ialah awal sebuah pedidikan anak manusia, baik buruknya rakyat negeri ini tidak akan terlepas dari pendidikan sang anak dari asuhan para ibu... sebagai wanita.
Wanita yang solehah menurut pandangan Islam ialah salah satunya selalu siap memenuhi keperluan sang suami, di sini maksudnya keperluan di atas tempat tidur.
Redaksi hadits menyebutkan "Apabila suami mengajak..dst.." dalam konteks makna mengajak.. idealnya sang istri jangan menunggu diajak, jemput bola dong.. atau paling tidak, sebelum tidur ntuuh.. sang istri kudu berhias, bersolek lalu menawarkan diri kepada sang suami.. (tentunya jika anak-anak sudah pada tidur) agar terlepas dari ketidakrelaan suami pada saat tidur...faham gak nih...?!
Lah ini... suami mau minta..eh malah tidur duluan.. sekujur tubuh di tutupi selimut.. pake celana berlapis baja, udah gitu di gembok lagi....
Sabtu, 01 Februari 2014
seruan
Bismillahirrahmanirrahim, ayo kita gabung cukup 10 ribu rupiah menjadi Donatur tetap Pondok Pesantren Darussalam Manuju caranya daftar di http://www.emailmeform.com/ builder/form/yT86brH9depF cek donasi anda di http:// ppdarussalammanuju.blogspot.com /p/donatur.html
insya Allah menjadi amal yang akan mengalir terus menerus (amal
jariyah)....para donatur di Do'akan sejumlah santri pada Shalat
Duha.....
SKI
BAB I
PENDAHULUAN
Pada umumnya setiap
penulisan ulang mengenai Sejarah Peradaban Islam pada masa-masa
khulafaurrasyidin ataupun sejarah-sejarah lain adalah terbuka dan milik semua
orang. Asalkan bisa memahami dan bisa
mengaplikasikannya secara sistematis dan inofatif.
Tema
besar penulisan makalah ini akan lebih banyak
menelusuri mengenai akar-akar Sejarah Peradaban Islam pada masa
Khulafaurrasyidin. Karena nilai-nilai positif Sejarah Peradaban
Khulafaurrasyidin tidak lagi dijadikan teladan oleh orang-orang Islam.
Fenomena yang
sangat menyedihkan, mayoritas orang-orang Islam saat ini lebih banyak
mengadobsi budaya/peradaban orang-orang non muslim.
semua itu merupakan cerminan bagi potret perkembangan di masing-masing kawasan
Dunia Islam yang terus menerus menunjukkan dinamikanya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperkaya nuansa dan pengembangan wawasan dalam studi Sejarah Peradaban Islam.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperkaya nuansa dan pengembangan wawasan dalam studi Sejarah Peradaban Islam.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, fungsi sebagai rasullah tidak
dapatdigantikan oleh siapa pun manusia di dunia ini, karena pemilihan fungsi
tersebutadalah mutlak dari Allah SWT. Fungsi
beliau sebagai kepala pemerintahan danpemimpin masyarakat harus ada yang
menggantinya. Selanjutnya pemerintahanIslam
dipimpin oleh empat orang sahabat terdekatnya, kepemimpinan dari parasahabat Rasul ini disebut periode Khulafaur-Rasyidin (para pengganti yangmendapatkan bimbingan ke jalan lurus. Meskipun hanya berlangsung 30 tahun, masa Khalifah Khulafaur-Rasyidinadalah masa yang penting dalam sejarah Islam. Khulafaur-Rasyidin berhasilmenyelamatkan Islam, mengkonsolidasi dan meletakkan dasar bagi keagunganumat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Khulafaur Rasyidin.
Kata khulafaurrasyidin
itu berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata khulafa dan rasyidin,
khulafa’ itu menunjukkan banyak khalifah, bila satu di sebut khalifah, yang
mempunyai arti pemimpin dalam arti orang yanng mengganti kedudukan rasullah SAW
sesudah wafat melindungi agama dan siasat (politik) keduniaan agar setiap orang
menepati apa yang telah ditentukan oleh batas-batanya dalam melaksanakan
hukum-hukum syariat agama islam.
Adapun kata Arrasyidin itu berarti arif dan bijaksana. Jadi khulafaurrasyidin mempunyai arti pemimpim yang bijaksana sesudah nabi muhammad wafat. Para khulafaurrasyidin itu adalah pemimpin yang arif dan bijaksana. Mereka tiu terdiri dari para sahabat nabi muhammad SAW yang berkualitas tinggi dan baik adapun sifat-sifat yang dimiliki khulafaurrasyidin sebagai berikut:
Adapun kata Arrasyidin itu berarti arif dan bijaksana. Jadi khulafaurrasyidin mempunyai arti pemimpim yang bijaksana sesudah nabi muhammad wafat. Para khulafaurrasyidin itu adalah pemimpin yang arif dan bijaksana. Mereka tiu terdiri dari para sahabat nabi muhammad SAW yang berkualitas tinggi dan baik adapun sifat-sifat yang dimiliki khulafaurrasyidin sebagai berikut:
a. Arif dan bijaksana
b. Berilmu yang luas dan mendalam
c. Berani bertindak
d. Berkemauan yang keras
e. Berwibawa
f. Belas kasihan dan kasih sayang
g. Berilmu agama yang amat luas serta melaksanakan hukum-hukum islam.
Para sahabat yang disebut khulafaurrasyidin terdiri dari empat orang khalifah yaitu:
Para sahabat yang disebut khulafaurrasyidin terdiri dari empat orang khalifah yaitu:
1.
Abu bakar Shidik
khalifah yang pertama (11 – 13 H = 632 – 634 M)
2.
Umar bin Khattab
khalifah yang kedua (13 – 23 H = 634 – 644 M)
3.
Usman bin Affan
khalifah yang ketiga (23 – 35 H = 644 – 656 M)
4.
Ali bin Abi Thalib
khalifah yang keempat (35 – 40 H = 656 – 661 M)[1]
2.1.1. Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634M).
Abu Bakar, nama
lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tammi. Di zaman pra Islam bernama Abdul
Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang
sahabat yang utama (orang yang paling awal) masuk Islam. Gelar Ash-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai
pristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang
dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang
muncul akibat wafatnya Nabi.[2]
A.
Langkah-langkah
kebijakan Abu Bakar
1. Menumpas nabi palsu
2. Memberantas kaum murtad
3. Menghadapi kaum yang ingkar zakat
4. Mengumpulkan ayat-ayat Al-Qu’an
Mengumpulkan ayat-ayat
Al-Qu’an. Pada saat pertempuran di Ajnadain negeri syam berlangsung, khalifah Abu
Bakar menderita sakit. sebelum wafat, beliau telah berwasiat kepada para
sahabatnya, bahwa khalifah pengganti setelah dirinya adalah umar bin Khattab.
hal ini dilakukan guna menghindari perpecahan diantara kaum muslimin.
Beberapa saat setelah
Abu Bakar wafat, para sahabat langsung mengadakan musyawarah untuk menentukan
khakifah selanjutnya. telah disepakati dengan bulat oleh umat Islam bahwa Umar
bin Khattab yang menjabat sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar. piagam
penetapan itu ditulis sendiri oleh Abu Bakar sebelum wafat.
Setelah pemerintahan 2
tahun 3 bulan 10 hari (11 – 13 / 632 – 634 M),khalifah Abu Bakar wafat pada
tanggal 21 jumadil Akhir tahun 13 H / 22 Agustus 634 Masehi.[3]
B. Manajemen Pemerintahan Abu Bakar (Wilayah Provinsi dan Gubernur).
Di masa pemerintahan Khalifah pertama,
masih terdapat pertentangan dan perselisihan antara Negara Islam dan sisa-sisa
kabilah arab yang masih berpegang teguh pada warisan jahiliyah “Tentang memehami agama Islam”. Namun demikian, kegiatan (proses)
pengaturan manajemen pemerintan Khalifah Abu Bakar telah dimulai. Wilayah
Jazirah Arab dibagi menjadi beberapa provinsi, wilayah Hijah terdiri dari 3
provinsi, yakni Makkah, Madinah dan Thaif. Wilayah Yaman terbagi menjadi 8
provinsi yang terdiri dari Shan’a, Hadramaut, Haulan, Zabid, Rama’, al-Jund,
Najran, Jarsy, kemudian Bahrain dan wilayah sekitar menjadi satu provinsi.
Adapun para gubernur yang menjadi pemimpin
di provinsi tersebut adalah Itab bin Usaid, Amr bin Ash, Utsman bin Abi
al-‘Ash, Muhajir bin Abi Umayah, Ziyad bin Ubaidillah al-Anshari, Abu Musa al
Asy’ari, Muadz bin Jabal, Ala’ bin al-Hadrami, syarhabi bin Hasanah, Yazid bin
Abi Sufyan, Khalid bin walid dan lainnya. Diantara tugas para gubernur adalah
mendirikan shalat, menegakkan peradilan, menarik, mengelola dan membagikan
zakat, melaksanakan had, dan mereka memiliki kekuasaan pelaksanaan dan
peradilan secara simultan.[4]
2.1.2. Umar bin Khaththab (13-23H/634-644M)
Umar bin Khaththab nama lengkapnya adalah
Umar bin Khaththab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisi dari suku Adi;
salah satu suku terpandang mulia. Umar dilahirkan di mekah empat tahun sebelum
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ia adalah seorang berbudi luhur, fasih dan adil
serta pemberani.[5]
Beberapa keunggulan
yang dimiliki Umar, membuat kedudukannya semakin dihormati dikalangan
masyarakat Arab, sehingga kaum Qurais memberi gelar ”Singa padang pasir”, dan
karena kecerdasan dan kecepatan dalam berfikirnya, ia dijuluki ”Abu Faiz”.
Itulah sebabnya pada saat-saat awal penyiaran Islam, Rasulullah SAW bedoa
kepada Allah, ”Allahumma Aizzul Islam bi Umaraini” artinya: ”Ya Allah,
kuatkanlah Agama Islam dengan salah satu dari dua Umar” yang dimaksud dua Umar
oleh Rasulullah SAW adalah Umar bin Khattab dan Amru bin Hisyam (nama asli Abu
Jahal).
Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai Khalifah itu merupakan fenomena
yang baru, tapi haruslah dicatat bahwa proses pralihan kepemimpinan tetap dalam
bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar yang
diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Untuk menjajagi pendapat umum,
Khalifah Abu Bakar melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan
beberapa sahabat, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan. Setelah
mendapat persetujuan dari para sahabat dan baiat dari semua anggota masyarakat
Islam Umar menjadi Khalifah. Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukminin
(komandan orng-orang beriman).
Di jaman pemerintahan Umar pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Khalifah Umar telah berhasil membuat
dasar-dasar bagi suatu pemerintahaan yang handal untuk melayani tuntunan
masyarakat baru yang terus perkembang. Umar mendirikan beberapa dewan
yaitu : membangun Baitul Mal, Mencetak Mata Uang, membentuk kesatuan tentara
untuk melindungi daerah tapal batas, mengatur
gaji, mengangkat para hakimdan menyelenggarakan “hisbah”.
Khalifah Umar jaga meletakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam
pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna.
Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekuasaan bagi
Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu
sehinnga tidak ada perbedaan antara pengusa dan rakyat, dan mereka
setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat.
Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan
peraturan-peraturan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap
kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan demi tercapainnya kemaslahatan
umat Islam. Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan
4hari. Kematiannya sangt tragis, seorang budak Persia bernama Fairuz atau Abu
Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam ke arah khalifah
yang akan menunaikan shalat subuh yang telah di tunngu oleh jama’ahnya di masjid
Nabawi di pagi buta itu. Khalifah Umar wafat tiga hari setelah pristiwa
penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharam 23H/644M.[6]
Atas persetujuan Siti Aisyah istri rasulullah Jenazah beliau dimakamkan
berjajar dengan makam Rasulullah dan makam Abu Bakar. Demikianlah riwayat
seorang khalifah yang bijaksana itu dengan meninggalkan jasa-jasa besar yang
wajib kita lanjutkan.
A.
Manajemen
Pemerintahan Umar bin Khattab
Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab r.a. sudah di peraktikkan
konsep dasar hubungan antara negara dan rakyat, pentingnya tugas pegawai
pelayanan politik dan menjaga kepentinggan rakyat dari otoritas pemimpin. Umar
r.a. melakukan pemisahan antara kekuasaan peradilan dengan kekusaan eksekutif,
beliau memilih hakim dalam sistem peradilan yang independen guna memutuskan
persoalan masyarakat. Sistem peradilan ini terpisah dari kekusaan eksekutif,
dan ia bertanggung jawab terhadap khalifah secara langsung.[7]
2.1.3. Utsman bin Affan (23-36H/644-656M).
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin
Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk islam karena
ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat
kaya tetapi berlaku sedehana, dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk
kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya memiliki dua
cahaya, karena menikahi dua putri Nabi SAW secara berurutan setelah yang satu
meninggal. Dan Utsman pernah meriwayatkan hadis kurang lebih 150 hadis. Seperti
halnya Umar, Utsman diangkat menjadi Khalifah melalui proses pemilihan.
Bedanya, Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Utsman diangkat atas
penunjukan tiadak langsung, yaitu melewati badan Syura
yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.
A. Pencapian Pada Masa Pemerintahan Utsman.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para
pendahulunya, terutama dalam perlusan wilayah kekusaan Islam. Daerah-daerah
sterategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak. Karya monumental
Utsman yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci
Al-Qur’an.
Penyusunan Al-Qur’an, yaitu Zaid bin Tsabit, sedangkan yang mengumpulkan
tulisan-tulisan Al-Qur’an antara lain Adalah dari Hafsah, salah seorang Istri
Nabi SAW. Kemudian dewan itu membuatbeberapa salinan naskah Al-Qur’an untuk
dikirimkan ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar untuk
masa selanjutnya.[8]
B. Manajemen Pemerintahaan Utsman bin Affan.
Khalifah Utsman r.a. berusaha menjaga dan melestarikan sistem pemerintahaan
yang telah ditetepkan oleh Khalifah Umar r.a. surat yang dituliskan khalifah
Utsman mencerminkan pelestarian tersebut : “khalifah Umar r.a. telah menentukan
beberapa sistem yang tidak hilang dari kita, bahkan melingkupi kehidupan kita.
Dan tidak ditemukan seorang pun di antara kalian yang melakukan perubahaan dan
penggantian. Allah yang berhak mengubah dan menggantinya.”
Di awal kekhalifahannya, umur Utsman r.a. relatif tua. Akan tetapi, di saat
umur khalifah melebihi 70 tahun, beliau masih sanggup memberangkatkan pasukan
perang.
Bentuk manajemen yang ditetapkan dalam pemerintahaan Umar r.a. tercermin
dalam pengumpulan mushaf Al-qur’an menjadi satu di kenal dengan Mushaf Utsmani.
Pada masa kekhalifahan Utsman r.a. terdapat indikasi praktik nepotisme. Hal ini
yang membuat sekelompok sahabat mencela kepemimpinan Utsman r.a. karena telah
memilih keluarga kerabat sebagai pejabat pemerintahaan.[9]
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh trakhir masa
kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa
di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat
berbeda dengan kepemimpinan Umar. Pada tahun 35H/655M, Usman di bunuh oleh kaum
pemberontak yang terdiri dari orang-orang kecewa itu.[10]
Pembunuhan usman merupakan malapetaka besar yang menimpa ummat Islam.
Dikalangan ummat Islam yang diturunkan melalui Muhammad yang berbahasa Arab
(sehingga perwujudan islam pada masa awalnya bercorak Arab) dengan alam pemikiran
yang dipengaruhi kebudayaan Helinesia dan persi. Pembenturan itu membawa
kegoncanggan dan kericuhan dalam beberapa bidang sebagai berikut :
a. Bidang Bahasa Arab.
b. Bidang Akidah.
c. Bidang Politik.[11]
2.1.4.
Ali bin Abi Thalib
khalifah yang keempat (35 – 40 H = 656 – 661 M).
Khlifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan dan
menantu Nabi. Ali adalah putra Abi Thalid bin Abdul Muthalib. Ali adalah
seseorang yang memiliki kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan.
Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang
jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasehat yang bijaksana,
penasihat hukum yang ulung dan pemegang teguh tradisi, seorng sahabat sejati,
dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya
dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Nabi Muhammad.[12]
A.
Gelar-gelar yang
disandang oleh Ali antara lain:
“Babul Ilmu” gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk
orang yang banyak meriwayatkan hadistv v Zulfikar karena pedangnya yang
bermata,juga disebut “Asadullah” (singa Allah) dua dan setiap Rasulullah
memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan memperole kemenangan. v
“Karramallahu Wajhahu” gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya dimuliakan
oleh Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan
jiwanya. v “Imamul masakin” (pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu
belas kasih kepada orang-orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan
orang-orang fakir, miskin dan yatim. Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan. v
Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang didalamnya bercermin
kepribadian Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin
Khattab dan Ali bin Abi Tholib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan
cahayanya, itulah sebabnya Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang
diridhai Allah dan Rasulnya.[13]
B.
Proses dan Khalifahan
Ali bin Abi Thalib.
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun
dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan setabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali memecat para gubernur yang di angkat oleh Usman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali siatem distribusi pajak
tahunan dia antara orang-orang Islam sebagaimana pernah ditetapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi
pemberontakkan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman
yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari
perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau
berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut
ditolak. Akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal
dengan nama “Perang Jamal (Unta)” Karena Aisyah dalam pertempuran itu
menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika
hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[14]
C. Manajemen Pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.
menjalankan system pemerintahaan sebagaimana Khalifah sebelumnya, baik dari
segi kepemimpinan ataupun manajemen. Dalam mengangkat seorang pemimpin, beliau
mendelesiasikan wewenang dan kekuasaan atas wilayah yang dipimpinnya. Seorang
memiliki kewenangan penuh untuk mengelola wilayah yang dikuasainya, namun
khalifah tetap melakukan pengawasan terhadap kinerja pemimpin tersebut.
Khalifah senantiasa mengajak pegawainya untuk untuk hidup Zuhud, berhemat dan
sederhana dalam kehidupan, begitu juga untuk selalu memperhatikan dan berbelas
kasihan terhadap kehidupan rakyatnya. Beliau juga mengjarkan system renumirasi. Selain itu, beliau juga konsisten
terhadap kepentingan masyarakat secara umum.[15]
D.
Peristiwa Tahkim dan
Dampaknya
Akibat terjadinya
perselisihan pendapat dalam pasukan Ali, maka timbullah golongan Khawarij dan
Syi’ah. Khawarij adalah golonga yang semula pengikut Ali , setelah berhenti
perang Siffin mereka tidak puas, dan keluar dari golongan Ali, karena mereka
ingin melanjutkan peperangan yang sudah hampir menang, dan mereka tidak setuju
dengan perundingan Daumatul Jandal.
Mereka berkomentar mengapa harus bertahkim kepada manusia, padahal tidak ada tempat bertahkim kecuali allah. Maksudnya tidak ada hukumselain bersumber kepada Allah. khawrij menganggap Ali telah keluar dari garis Islam. Karena itu orang-orang yang melaksanakan hukum tidak berdasarka Kitab Allah maka ia termasuk orang kafir.
Mereka berkomentar mengapa harus bertahkim kepada manusia, padahal tidak ada tempat bertahkim kecuali allah. Maksudnya tidak ada hukumselain bersumber kepada Allah. khawrij menganggap Ali telah keluar dari garis Islam. Karena itu orang-orang yang melaksanakan hukum tidak berdasarka Kitab Allah maka ia termasuk orang kafir.
Sebaliknya golongan
kedua Syi’ah (golongan yang tetap setia mendukung Ali sebagai Khalifah) memberi
tanggapan bahwa tidak menutup kemungkinan kepemimpinan Muawwiyah bertindak
salah, karena ia manusia biasa, selain itu golongan Syi’ah beranggapan bahwa
hanya Ali satu-satunya yang berhak menjadi Khalifah.
Mengingat perdebatan
ini tidak titik temunya dan mengakibatkan perundingan Daumatul Jandal gagal
sehingga perdamaian tidak terwujud.
E.
Ali bin Abi Thalib Wafat
Kaum Khawarij tidak
lagi mempercayai kebenaran pemimpin-pemimpin Isalam, dan mereka berpendapat
bahwa pangkal kekacauan Islam pada saat itu adalah karena adanya 3 orang imam,
yaitu Ali, Muawwiyah dan Amr.
Kemudian kaum Khawarij
membulatkan tekadnya, “tiga orang imam itu harus dibunuh dalam satu saat, bila
hal itu tercapai umat Islam akan bersatu kembali”. Demikian tekad mereka. “Saya
membunuh Ali”, kata Abdurrahman bin Muljam, “Saya membunuh Muawwiyah”, sambut
Barak bin Abdullah Attamimi, “Dan saya membunuh Amr”, demikian kesanggupan Amr
bin Bakr Attamimi.
Mereka bersumpah akan melaksanakan pembunuhan pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M di waktu subuh. Diantara tiga orang Khawarij tiu. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun tertangkap dan juga dibunuh.
Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuhdi Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat.
Mereka bersumpah akan melaksanakan pembunuhan pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M di waktu subuh. Diantara tiga orang Khawarij tiu. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun tertangkap dan juga dibunuh.
Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuhdi Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat.
Khalifah Ali wafat
dalam usia 58 tahun, kemudian Hasan bin Ali dinobatkan menjadi Khalifah yang
berkedudukan di Kufah.[16]
2.2. KEMAJUAN
PERADABAN PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN
Masa kekuasaan
khulafaur rasyidin yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga Ali bin Abi
Thalib, merupakan masa kekusaan khalifah Islam yang berhasil dalam
mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad SAW yang telah meletakkan
dasar agama Islam di arab, setelah beliau wafat, gagasan dan ide-idenya
diteruskan oleh para khulafaur rasyidin. Pengembangan agama Islam yang
dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat
telah membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia,
ekspansi kekuasaan Islam menembus luar Arabia memasuki wilayah-wilayah Afrika,
Syiria, Persia, bahkan menembus ke Bizantium dan Hindia.
Ekspansi ke
negri-negri yang sangat jauh dari pusat kekusaan, dalam waktu tidak lebih dari
setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang
sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai.
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain sebagai
berikut :
1.
Islam, di samping merupakan ajaran yang mengatur humbungan manusia
dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2.
Dalam dada para sahabat Nabi SAW
tertanam keyakinan yang sangat kuat tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran
Islam (dakwah) keseluruh penjuru dunia.
3.
Bizaitun dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada
waktu itu mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi
peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negri
masing-masing.
4.
Pertentangan aliran agama di wilayah Bizaitun mengakibatkan
hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat.
5.
Islam datang kedaerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik
dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6.
Bangsa sami di Syiria dan palestina, dan bangasa Hami di Mesir
memandang bangsa Arab lebih dekat
daripada bangsa Eropa, Bizantiun, yang merintah mereka.
7.
Mesir, Syiria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan
intu membantu pengusa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.[17]
Pada masa
kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Di
antaranya adalah muculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Di antara gerakan
pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut :
1.
Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al-Karim dan mengumpulkan dalam bentuk
mushaf pada masa Abu Bakar.
2.
Memberlakukan mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
3.
Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan
memerangi kebodohan berIslam pada
penduduk negri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa Utsman dikirim ke
berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Al-Qur’an dan As-sunnah
kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
4.
Sebagai orang yang tidak senang kepada
Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke-19 banyak mempelajari fenomena futuhat al-Islamiyah dan menafsirkan dengan motif
baiduwi.
5.
Islam pada masa awal tidak mengenal
pemisahaan antara dakwah dan Negara, antara da’I maupun panglima.
Dr. Hasan Ibrahim dalam bukunya “Tarikh Al-Islam
As-Siyasi”, menjelaskan bahwa organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga
Negara yang ada pada masa Khulafaur rasyidin, diantaranya sebagi berikut :
1. Lembaga Politik.
2. Lembaga Tata Usaha Negara.
3. Lembaga Keuangan Negara.
4. Lembaga Kehakiman Negara.
Peristiwa-peristiwa Penting Pada Masa
Khulafaur rasyidin[18]
Tahun
|
Pristiwa
|
Masa kekusaan Khlifah
|
11H
|
Rasullah SAW wafat (Rabiul Awal)
|
Abu Bakar Ash-shiddiq
|
12H
|
Perang Riddah
|
|
13H
|
Perang Yarmuk
|
|
13H
|
Abu Bakar Wafat (jumadil akhir)
|
|
14H
|
Penaklukan Damaskus
|
Umar bin Khathab
|
15H
|
Pearang Qadisiyah
|
|
17H
|
Penaklukan Persia
|
|
20H
|
Penaklukan Mesir
|
|
21H
|
Perang Nahawand
|
|
23H
|
Penaklukan Khurasan, Persia
|
|
27H
|
Penaklukan Tarablusi dan Afrika
|
Utsman bin Affan
|
28H
|
Penaklukan Cyprus
|
|
31H
|
Perang Dzatu Sawari
|
|
32H
|
Khurasan Kembali dilakukan
|
|
35H
|
Utsman wafat
|
|
36H
|
Perang Jamal
|
Ali bin Abi Thalib
|
37H
|
Perang Siffin dan Tahkim
|
|
38H
|
Perang Nahawand
|
|
41H
|
Ali bin Abi Thalib wafat
|
2.2.1.
Pembarui Organisasi Negara
Pada masa
Rasul, sesuai dengan keadaannya, oranisasi negara masih sederhana. Tetapi
ketika masa khalifah Umar, di mana ummat islam sudah terdiri dari macam-macam
bangsa dan urusannya makin meluas, maka disusunlah organisasi negara sebagai
berikut:
A.
Organisasi Politik yaitu terdiri :
a)
Al-Khalifaat, (Kepala Negara).
Dalam memilih kepala negara berlaku sistem “bai’ah”. Pada masa
sekarang mungkin sama dengan sistem demokrasi. Hanya waktu itu sesuai dengan al-amru
syuro bainahun sebagimana yang digariskan Allah dalam Al-Qur’an.
b)
Al-Wazaraat, (Menteri).
Khalifah Umar menetapkan Usman sebagai pembantunya untuk mengurus
pemerintahan umum dan kesejahteraan, sedangkan Ali untuk mengurus kehakiman,
surat-menyurat dan tawanan perang.
c)
Al-Kitabaat, (sekretaris Negara)
Umar bin Khattab mengkat Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Arqom
menjadi sekretaris untuk menjelaskan urusan penting. Usman bin Affan juga
mengangkat Marwan bin Hakam.
B.
Admistrasi Negara.
Sesuai dengan
kebutuhan, khalifah Umar bin Khatab menyusun administrasi negara menjadi :
a)
Diwan-diwan (Departemen-departemen) :
1)
Diwan al-Jundiy/Diwan al-Harby (Badan Pertahanan Keamanan)
Orang
muslim pada masa Rasul dan Abu Bakar semuanya adalah perajurit “ketika perang”.
Namun perang telah selesai dan ghanimah telah
dibagikan, mereka kembali penduduk sipil.
Pada
masa Umar keadaan telah berubah, disusunlah satu badan yang mengurusi Tentara.
Disusunlah angkatan bersenjata khusus, asrama, latihan militer, kepangkataan,
gaji, persenjataan dan lain-lain. Mulai juga membangun angkataan laut oleh
Muawiyah (Gubernur Syam) dan oleh Ali bin Hadharamy (Gubernur
Bahrain).
2)
Diwan al-Kharaj/Diwan al-Maaly/Bait al-Maal (Mengurusi keuangag
Negara).
Digunakan
untuk mengurusi pemasukan dan pengeluaran anggaran belanja negara. Sumber
pemasukan keungan negara islam adalah :
·
Al-Kharaj (Pajak hasil bumi)
·
Al-usyur (10% dari pedagang dan kapal-kapal orang asing yang datang
ke negara Islam “bea cukai”.
·
Al-zakah (zakat harta 2,5% dari harta yang sampai nisab)
·
Al-jizyah (pajak ahli dzimmah, “orang bukan islam yang bertempat
tinggal di negara Islam”.
·
Al-fai dan ghanimah (uang tebusan dari orang musyrik yang kalah
perang dan harta rampasan perang.
3)
Diwan-al-Qudhat (departemen kehakiman).
Umar
mengkat hakim-hakim khusus untuk tiap wilayah dan menetapkan persyaratannya.
C.
Al-Imarah ‘ala al-buldan (Administrasi pemerintahan dalam Negri).
a)
Negara dibagi menjadi beberapa provinsi yang dipimpin oleh seorang
gubernur (amil), yaitu :
§
Ahwaz dan Bahrain
§
Sijistan, Iraq, Makran dan Karman.
§
Syam, Palestina, Mesir, Padang Sahara Libia.
b)
Al-Barid : perhubungan, kuda pos memakai kuda pos.
c)
Al-Syurthah : polisi penjaga keamanan negara.
D.
Mengembangkan Ilmu
Kelanjutan
meluaskan
islam ada dua gerakan perpindahan manusia, “orang Arab Muslim keluar
Jaziriah Arab, orang Ajam datang ke jaziriah Arab”.
Dua gerakan perpindahan ini membawa dampak tersendiri, baik positif
maupun
negatif. Orang Ajam yang berasal dari luar Jazirah Arab adalah bangsa
yang
pernah mewarisi kebudayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa
Arab.
Walaupun nyala api ilmu pengetahuan mereka hampir padam, namun bekasnya
masih
nyata. Hal ini terlihat pada adanya kota-kota tempat perkembangan
kebudayaan
yunani seperti Iskandariyah, Antiokia, Harran dan Yunde Sahpur.[19]
2.2.2. Tanggung Jawab Negara yang pokok.
Prinsip persamaan di bidang ekonomi ini merupakan
dasar masyarakat Islam dan merupakan suatu jaminan untuk mempertahankan
keseimbangan. Cirri utama dan prinsip jaminan masyarakat dari kebijakan ini
dirumuskan sebagai berikut :
a. Hak Kaum Miskin.
b. Larangan menumpuk Harta.
c. Setiap orang membayar sesuai dengan kemampuan.
d. Setiap orang (dibantu) sesuai kebutuhannya
e. Jaminan social.
f. Cadangan social.
2.2.3. Pembayaran Bantuan Keuangan.
Prinsip jaminan social telah di mulai dan dijalankan
pada mas Khulafah Umar dan dibentuk pula departemen-departemen lain untuk
mendistribusikan uang bantuan dan sumbangan kepada masyarakat dan lain-lain
yang dilakukan untuk tujuan tersebut. Departemen-departemen yang dibentuk
antara lain :
a. Departemen pelayanan militer.
b. Departemen kehakiman dan eksekutif.
c. Departemen pendidikan dan pengembangan Islam
d. Departemen jaminan social.
e. Jamin social untuk semua.[20]
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah di pilih berdasarkan musyawarah.
Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah melalui
pertemuan saqifah atas usulan umar. Problem besar yang dihadapi Abu Bakar ialah
munculnya nabi palsu dan kelompok ingkar zakat serta munculnya kamum murtad
Musailimah bin kazzab beserta pengikutnya menolak. membayar zakat dan murtad
dari islam yang mengakibatkan terjadinya perang Yamamah. Pasukan islam dipimpin
Khalid bin Walid berusaha menumpas kaum ingkar zakat yang dipimpin Musailamah
bin Kazzab tersebut hingga mengakibatkan banyak sahabat yang gugur termasuk 70
penghafal Al-Qur’an. Perang tersebut terjadi pada tahun 12 H.
Umar yang
tahu akan hal itu merasa khawatir akan kelestarian Al-Qur’an hingga dia
mengusulkan kepada Abu Bakar agar membukukan/mengumpulkan mushaf yang ditulis
pada masa nabi menjadi satu mushaf Al-Qur’an. Mushaf yang sudah terkumpul
disimpan oleh Abu Bakar, ketika Abu Bakar sakit dia bermusyawarah dengan para
sahabat untuk menggantikan beliau menjadi khalifah pada masa Umar gelombang
exspansi pertama terjadi. Umar membagi daerah kekuasaan islam menjadi 8
propinsi yaitu : Makkah, Madinah, Syiria, Basrah, Kofah, Palestina, dan Mesir.
Umar membentuk panitia yang beranggotakan 6 orang sahabat dan meminta salah
satu diantaranya menjadi khalifah setelah Umar wafat. Panitia berhasil mengangkat
Utsman menjadi khalifah. Pada masa pemerintahan utsman wilayah islam meluas
sampai ke Tripoli barat, Armenia dan Azar Baijan hingga banyak penghafal
Al-Qur’an yang tersebar dan tarjadi perbedaan dialek, yang menyebabkan masalah
serius. Utsman membentuk tim untuk menyalin Al-Qur’an yang telah dikumpulkan
pada masa Abu Bakar, tim ini menghasilkan 4 mushaf Al-Qur’an dan Utsman
memerintahkan untuk membakar seluruh mushaf selain 4 mushaf induk tersebut.
Utsman
dibunuh oleh kaum yang tidak puas akan kebijakannya yang mengangkat pejabat dari kaumnya sendiri (Bani Umayah). Setelah Utsman
wafat umat islam membaiak Ali menjadi
khalifah pengganti utsman, kaum Bani Umayah menuntut Ali untuk menghukum
pembunuh Utsman, karena merasa tuntutannya tidak dilaksanakan Bani Umayah
dibawah pimpinan Mu’awiyah memberontak terhadap pemerintahan Ali. Perang Sifin
mengakibatkan perpecahan pada kelompok Ali. Dipenghujung pemerintahan Ali umat
islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu, Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali),
dan Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali). Setelah Ali meninggal, ia
diganti oleh anaknya, Hasan. Hasan mengadakan perundingan damai dengan
Mu’awiyah dan umat islam dikuasai oleh Mu’awiyah. Dengan begitu berakhirlah
pemerintahan yang berdasarkan pemilihan (khulafaur rasyidin) berganti dengan
sistem kerajaan).
3.2.Saran.
Kami bangga sekaligus
kagum atas perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Khulafaurrasyidin. Mereka
melakukan ekspansi, pemberantasan kaum murtad, dan kebijakan-kebijakan lainnya
yang membuahkan hasil cemerlang bagi Agama Islam. Tapi yang di sayangkan pada
masa pemerintahan salah satu dari Khulafaurrasyidin ialah: Para aparatur Negara
di ambil dari kalangan keluarga Khalifah, dan ketidak tegasan dalam
memutuskan/menyelesaikan masalah, hal tersebut yang menyebabkan perpecahan dan
pemberontakan di kalangan umat Islam, sehingga berdampak negatif di era
globalisasi ini.
[1] M Nishom, http://pustakalatansa.blogspot.com/2011/08/sejarah-peradaban-islam-pada
masa.html,07 april 2012
[2] Samsul Munir
Amin, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta : Amzah, 2009). hlm. 93-94.
[3] M Nishom,http://pustakalatansa.blogspot.com/2011/08/sejarah-peradaban-islam-pada-masa.html. 07 april 2012
[4] Ahmad Ibrahim
Abu Sinn, Manajemen Syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1996). Hlm.37-38.
[5] Samsul Munir
Amin, Opcit . hlm. 98.
[6] Ibid.
hlm. 98-104.
[7] Ahmad Ibrahim
Abu Sinn, Opcit. hlm. 38-39.
[8] Samsul Munir
Amin,Opcit. Hlm. 104-106.
[9] Ahmad Ibrahim
Abu Sinn, Opcit. hlm. 44-46.
[10] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993). Hlm. 38.
[11] Musyrifah
Susanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta Timur: Prenada Media).
Hlm.32-33.
[12] Samsul Munir
Amin, Lockcit.Hlm. 109.
[13] M Nishom, http://pustakalatansa.blogspot.com/2011/08/sejarah-peradaban-islam-pada-masa.html. Tanggal 7
april 2012
[14] Ibid. hlm. 39-40.
[15] Ahmad Ibrahim
Abu Sinn, Lockcit. hlm. 48-49.
[16]
M Nishom, http://pustakalatansa.blogspot.com/2011/08/sejarah-peradaban-islam-pada-masa.html. Tanggal 7
april 2012
[17] Samsul Munir
Amin, Lockcit. hlm. 113-114.
[18]Ibid. hlm. 113-117
[19] Musyrifah
Susanto, Lockcit,Hlm. 29.
[20] Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995), hlm. 166-173.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Samsul Munir, Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta :
Amzah, 2009.
Rahman Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta : PT. Dana
Bhakti Wakaf. 1995.
Sinn
Ahmad Ibrahim Abu, Manajemen Syariah, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Susanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur:
Prenada Media
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1993.
Langganan:
Postingan (Atom)