BAB 01 – THAHARAH (FIQIH LIMA MAZHAB)
Kaum Muslimin sangat memperhatikan masalah thaharah. Banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu. Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama fiqih sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya ibadah. Tidaklah berlebihan jika saya katakan, tidak ada satu agama pun yang betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam. Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli
fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis
jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi
berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk
melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, dan
tayammum. Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah SWT. Adapun Thaharah dari
najis pada tangan, pakaian, atau bejana, maka kesempurnaannya bukanlah
dengan niat. Bahkan jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin
dan jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya
menjadi suci.” Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagaimana firman Allah SWT:“… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu …. ” (Q.S. Al-Anfal : 11) “… dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih ….” (Q.S. Al-Furqan: 48) Thahur
(pada ayat di atas) berarti suci pada dirinya sendiri dan menyucikan
yang lain. Para ulama membagi air menjadi dua macam, berdasarkan banyak
sedikitnya atau berdasarkan keadaannya, yaitu: a. Air Muthlaq dan Air Musta’mab. Air Mudhaf. Air MuthlaqAir muthlaq
ialah air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari
langit atau keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air
telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang
mencair. Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah
karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab
yang lain seperti kejatuhan daun, kayu atau karena mengalir di tempat
yang asin atau mengandung belarang, dan sebagainya. Menurut ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq
itu suci dan menyucikan. Adapun yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Umar, bahwa tayammum lebih disukai daripada air laut, riwayat itu
bertentangan dengan hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang berbunyi: “Siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak membersihkannya.” Air Musta’malApabila kita membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air muthlaq, lalu berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas, maka air yang terpisah itu disebut air musta’mal.
Air semacam itu hukumnya najis, karena telah bersentuhan dengan benda
najis, meskipun itu tidak mengalami perubahan apapun. Air itu tidak
dapat digunakan lagi untuk membersihkan hadas atau najis. Para
ulama mazhab berkata: Apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh
bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis. Kalau air itu
berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada tempat yang
dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jia
tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan
melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang
bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa
tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang
terpisah dari tempat itu hukumnya najis. Air musta’mal telah digunakan untuk berwudhu atau mandi sunnah, seperti mandi taubat dan mandi jum ‘at,
hukumnya suci dan menyucikan untuk hadas dan najis; artinya air itu
dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis.
Adapun air musta’mal yang telah digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka ulama Imamiyah
sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi berbeda pendapat
tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan hadas dan
berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain melarang. Catatan:Apabila orang yang berjunub
menyelam ke dalam air yang sedikit, setelah ia menyucikan tempat yang
terkena najis, dengan niat membersihkan hadas, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta’mal dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Syafi’i, Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi musta’mal tetapi menyucikan janabah orang lersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi.1 Air MudhafAir Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, anggur, atau air yang muthlaq
pada asalnya, kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air
bunga. Air semacam itu suci, tetapi tidak dapat menyucikan najis dan
kotoran. Pendapat ini me-rupakan kesepakatan semua mazhab kecuali Hanafi
yang membolehkan bersuci dari najis dengan semua cairan, selain
minyak, tetapi bukan sesuatu yang berubah karena dimasak. Pendapat ini
sesuai dengan pendapat Asy-Syahid Murtadha dari Imamiyah. Semua mazhab, kecuali Hanafi, juga sepakat tentang tidak bolehnya berwudhu dan mandi dengan air mudhaf, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid dan kitab Majma’ Al-Anhar.2 Hanafi berkata : “Seseorang musafir harus (boleh) berwudhu’ dengan air perahan dari pohon kurma.” 1 Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid I, hal 22 cetakan ketiga dan ibnu Abidin , I;hal. 140 cetakan Al-Maimaniyah.2 Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, hal. 32, cetakan 135 H. Dan kitab Majma AlrAnhar, hal 37, cetakan Istambul Ibnu Qudamah menyebutkan,3 bahwa mazhab Hanafi membolehkan berwudhu’ dengan air mudhaf. Syaikh Shadiq dari Imamiyah berkata: “Sah berwudhu dan mandi junub dengan air mawar.” Hanafi mengambil dalil atas pendapatnya bahwa air mudhaf boleh digunakan untuk berwudhu, dari ayat Al-Qur’an : “Maka jika tidak ada air, hendaklah kamu tanyammum dengan debu yang bersih..” (Q.S. Al-Maidah :6) Menurut Hanafi, makna ayat itu adalah: Jika tidak ada air muthlaq dan air mudhaf, maka bertayammumlah. Tetapi jika ada air mudhaf, maka tayammum tidak dibolehkan. Mazhab lain berdalil dengan ayat ini juga untuk melarang pemakaian air mudhaf untuk berwudhu. Mereka berkata bahwa kata al-ma’u di dalam ayat itu maksudnya air muthlaq saja, tidak mencakup air mudhaf. Dengan demikian, maksud ayat di atas (Al-Maidah : 6) adalah: “Apabila tidak ada air muthlaq, maka bertayammumlah….” Air Dua KullahSemua
mazhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa, dan baunya
karena bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi najis, baik
sedikit atau banyak, bermata air ataupun tidak bermata air, muthlaq atau pun mudhaf.
Apabila air itu berubah karena melewati bau-bauan tanpa bersentuhan
dengan najis, misalnya ia berada di samping bangkai lalu udara dari
bangkai itu bertiup membawa bau kepada air itu, maka air itu hukumnya
tetap suci.Apabila air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat: Air itu bersih, sedikit atau banyak. Sedang mazhab yang lain,
berpendapat: Jika air itu sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap
suci. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak
sedikitnya.Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa yang digolongkan banyak itu adalah dua kullah, seperti yang disebutkan oleh hadis: “Apabila air sampai dua kullah, maka ia tidak najis”. Yang disebut dua kullah sama dengan 500 kati Iraq. Menurut sebagian syaikh Azhar, dua kullah ialah dua belas tankah. Imamiyah berkata: Yang disebut banyak itujika sampai satu karra, sebagaimana Hadis: “Apabila air itu sampai satu karra, maka ia tidak menjadi najis. “ Satu karra sama dengan 1200 kali Iraq. Kira-kira 27 tankah. Hanafi berkata: Yang disebut banyak ialah jika air itu digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain tidak ikut bergerak.Seperti yang telah kami jelaskan di atas, Imam Malik tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah dan karra,
dan tidak ada ukuran tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau
banyak sama saja. Yang penting, jika air itu berubah salah satu dari
sifat-sifatnya, maka air menjadi najis; jika tidak, ia tetap suci.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat salah seorang Imamiyah, Ibnu Abi Aqil, berdasarkan hadis: “Air itu pada dasarnya suci. la tidak menjadi najis oleh sesuatu kecuali berubah warna, rasa, dan baunya. “ Tetapi hadis di atas bersifat umum, sedangkan hadis dua kullah atau karra bersifat khusus, dan khusus mesti didahulukan daripada umum. Imam Hanafi juga tidak memberikan ukuran dengan dua kullah dan karra,
tetapi diukur dengan sistem gerakan sebagaimana tersebut di muka. Saya
sendiri tidak mendapati penentuan dengan “gerakan” ini secarajelas atau
athardi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Catatan:Syafi’i dan Imamiyah
berkata: Cairan lain seperti cuka dan minyak, menjadi najis bila
tersentuh najis, sedikit atau banyak, berubah atau tidak. Inilah yang
dimaksud oleh ushul syara’, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Alihi wa Sallam yang telah dikenal: “Apabila air itu sampai dua kullah maka tidaklah menajiskannya sesuatu “.Air itu ialah air muthlaq. Hanafi berkata: Hukum cairan selain air seperti air muthlaq, sedikit
ataupun banyak. Sedikit najis yang menyentuh akan men-jadikan najis
jika air berjumlah sedikit, dan tidak najis jika air itu banyak. Di dalam Hasyiah Ibnu Abidin44 Ibnu Abidin, I, hal. 130, cetakan AI-Maimaniyah. Hukum
cairan itu seperti air menurut asalnya. Dengan demikian, jika ke dalam
air perahan yang jumlahnya banyak bertumpah air kencing, maka air
perahan itu menjadi najis; begitu pula darah, kaki pemerah tidaklah
menajiskannya. Air Mengalir dan Air TenangMazhab-mazhab berbeda pendapat tentang air yang mengalir, Hanafi
berkata: Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak berhubungan
dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya karena bersentuhan
dengan najis. Malah, jika ada air najis dalam sebuah bejana dan air
bersih dalam bejana yang lain, kemudian kedua jenis itu dicurahkan dari
tempat yang tinggi sehingga keduanya bercampur di udara dan jatuh
kebawah, maka campuran kedua jenis air itu hukumnya suci. Begitu juga
jika keduanya dialirkan diatas bumi.55 Ibnu Abidin, l, hal. 131. Hanafi menolak pendapat bahwa kedua macam air dibawah ini, tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan najis, yakni: Pertama: Air tenang yang bila digerakkan salah satu bagiannya, bagian yang lain tidak ikut bergerak. Kedua: Air mengalir dengan jalan apapun. Adapun
air sedikit yang tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan benda
najis, maka keadaannya seperti air tenang yang jumlahnya sedikit, yang
jika digerakkan di satu bagian, bagian lain-nya ikut bergerak. Mazhab Syafi’i
tidak membedakan antara air mengalir dan air tenang yang memancar atau
tidak, tetapi ditetapkan berdasarkan banyak dan sedikitnya air. Banyak
ialah dua kullah: Bila bersentuhan dengan najis ia tidak menjadi najis. Sedangkan air yang kurang dari dua kullah akan menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis. Pendapat ini berdasarkan hadis: “Apabila air sebanyak dua kullah, ia tidak membawa najis. “ Syafi’i berkata: Jika air yang mengalir itu cukup dua kullah dan tidak berubah walaupun ia bercampur barang najis, maka semua air itu suci. Jika air yang mengalir itu tidak sampai dua kullah,
maka yang mengalir (bersama najis) itu hukumnya najis, sedangkan yang
mengalir sebelum dan sesudahnya, hukumnya suci. Perbedaan pendapat
antara Syafi’i dan Hanafi dalam hal air mengalir itujauh sekali. Hanafi berpendapat, bahwa “mengalir” itu walaupun sedikit, ada sebab yang menjadikannya suci, seperti contoh yang disebutkan di
muka: Yakni sebuah bejana yang berisi air bersih, dan bejana lain yang
berisi air kotor, maka keduanya menjadi suci jika dicampur denganjalan
dialirkan. Sedangkan Syafi’i tidak memperlihatkan jalan bercampurnya tetapi menekankan jumlahnya. Menurut Syafi’i,
sekalipun sungai yang besar, bagian air yang mengalir bersama najis
tetap najis hukumnya. Dan setiap bagian yang mengalir itu terpisah dari
bagian lainnya. Hambali berkata: Air yang tenang, bila kurang dari dua kullah menjadi
najis walaupun hanya bersentuhan dengan najis, baik memancar ataupun
tidak. Sedangkan air yang mengalir tidak menjadi najis jika bercampur
dengan benda najis, kecuali berubah. Hukum-nya seperti air yang
jumlahnya banyak. Pendapat ini dekat dengan pendapat Hanafi. Adapun Maliki,
seperti telah kami jelaskan, berpendapat bahwa air yang sedikit tidak
menjadi najis dengan hanya bersentuhan dengan najis, dan tidak ada beda
antara air yang mengalir dan air yang tenang. Jelasnya, mereka tidak
memperhatikan perubahan air itu karena najis. Jika air itu berubah
karena bersentuhan dengan najis, maka ia menjadi najis. Sebaliknya jika
air itu tidak mengalami perubahan apa-apa, maka hukumnya tetap suci,
baik sedikit mau” pun banyak, memancar atau tidak.Imamiyah
berkata: Tidak ada tanda untuk menentukan air itu mengalir atau banyak.
Jika air itu berhubungan dengan air pancaran (mata air) walaupun
perlahan maka dianggap air itu sama hukumnya seperti air banyak. la
tidak menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, walaupun jumlah
air itu sedikit dan berhenti. Sebab, pada mata air itu ada kekuatan
pusat air dan air yang banyak. Apabila air itu tidak berhubungan dengan
mata air, maka jika jumlahnya satu karra (dua kullah)
tidak menjadi najis bila bersentuhan dengan benda najis, kecuali jika
berubah salah satu sifatnya. Apabila jumlahnya tidak mencapai satu karra,
maka air itu menjadi najis bila bersentuhan dengan najis, baik ia
mengalir ataupun tidak. Hanya saja, apabila mengalir, bagian atas air
itu tidaklah najis. Air Menyucikan NajisApabila
ada air yang sedikit menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis,
tetapi tidak mengalami perubahan sifat apapun, maka Imam Syafi’i berpendapat: Jika air itu dikumpulkan sampai cukup dua kullah,
ia menjadi suci dan menyucikan najis, baik cukupnya itu karena
bercampur dengan air suci maupun dengan air najis, danjika air itu
dipisahkan ,tetap suci hukumnya. Jika seseorang mempunyai dua atau lebih
bejana, dan tiap-tiap bejana itu mengandung najis, kemudian air-air
najis itu dikumpulkan dalam satu tempat hingga mencapai dua kullah, maka air tersebut suci dan menyucikan.6 Hambali dan kebanyakan fuqaha Imamiyah berkata: Air yang sedikit itu tidak menjadi bersih dengan mencukupkannya menjadi dua kullah,
baik dengan air bersih maupun dengan air najis. Karena mengumpulkan air
najis dengan sejenisnya tidaklah menjadikan kumpulan itu suci. Begitu
pula, air suci yang sedikit menjadi najis, dengan sentuhan air najis.
Oleh karena itu, jika hendak bersuci, cukuplah air itu sampai satu karra atau dengan air pancaran menurut mazhab Imamiyah, sedangkan mazhab Hambali mewajibkan sampai dua kullah. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali,
apabila air yang banyak mengalami perubahan karena terkena najis, maka
air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang
terjadi. Imamiyah berkata: Jika tidak ada mata air pada air yang
banyak itu, maka tidaklah suci hanya dengan menghilangkan perubahannya;
bahkan setelah hilang perubahannya kita masih harus memasukkan satu karra
air suci ke dalamnya, atau menghubungkannya dengan mata air, atau ia
bercampur sendiri dengan air hujan. Jika pada air itu ada mata air, maka
ia suci dengan hilangnya perubahan yang terjadi, sekalipun sedikit. Maliki berpendapat: Menyucikan air yang terkena najis itu dapat dengan cara mencurahkan air muthlaq di atasnya hingga hilang sifat najis itu. Hanafi
berpendapat: Air yang najis itu menjadi bersih dengan cara
mengalirkannya. Jika ada air yang najis di dalam bejana, kemudian
dicurahkan air ke atasnya hingga mengalir keluar dari tepi-tepinya, maka
menjadi sucilah air itu. Begitu juga, jika ada air najis di dalam kolam
atau lubang, kemudian digali lubang lain meskipun jaraknya dekat, dan
dialirkan air najis pada saluran di antara kedua lubang itu sehingga
semua air itu berkumpul pada satu lubang, maka semuanya menjadi suci.
Jika air kembali menjadi najis karena suatu hal, maka dengan cara yang
sama dapat dilakukan untuk menyucikannya, yaitu dengan menggali lubang
lain dan mengalirkannya hingga berkumpul pada satu lubang. Begitu
seterusnya. Oleh
karena itu, air yang tidak boleh anda gunakan untuk berwudhu ketika ia
tenang, dapat anda gunakan dengan cara mengalirkannya dengan cara
apapun. Bahkan,jika ada bangkai sekalipun didalamnya, atau orang kencing
di bawahnya, tidak ada tanda bahwa air itu mengalir dan diketahui bahwa
air itu tidak berhubungan dengan mata air, jika dialirkan, maka air itu
menjadi suci. Najis-Najis
- Anjing: najis, kecuali mazhab Maliki yang berkata: Bejana yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadat). Syafi’i dan Hambali berkata: Bejana yang terkena jilatan anjing mesti dibasuh sebanyak tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah. Imamiyah berkata: Bejana yang dijilati anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan dua kali dengan air.
- Babi: Semua mazhab, berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah
yang mewajibkan mernbasuh bejana yang terkena babi sebanyak tujuh kali
dengan air saja. Begitu juga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang
besar).
- Bangkai: Semua mazhab sepakat,
bahwa bangkai binatang darat – selain manusia – adalah najis jika pada
binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakannya suci. Hanafi berpendapat, bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat suci dengan mandi. Begitu juga pendapat Imamiyah, tetapi terbatas pada bangkai orang Islam. Dan semua mazhab sepakat bahwa kesturi yang terpisah dari kijang adalah suci.
- Darah: Keempat mazhab sepakat
bahwa darah adalah najis kecuali darah orang yang mati syahid, selama
darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga halnya dengan darah yang
tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah
kepinding (tinggi) Imamiyah berkata: Semua darah hewan yang
darahnya mengalir, juga darah manusia yang mati syahid atau bukan,
adalah najis. Sedangkan darah binatang yang tidak mengalir darahnya,
baik binatang laut atau binatang darat, begitu juga tinggalan pada
persembelihan, hukumnya suci.
- Mani: Imamiyah, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak Adam dan lainnya adalah najis, tetapi khusus Imamiyah mengecualikan mani binatang yang darahnya tidak mengalir, untuk binatang ini Imamiyah berpendapat, rnani dan darahnya suci, Syafi’i berpendapat, mani anak Adam suci, begitu pula semua binatang selain anjing dan babi, Hambali
berpendapat mani anak Adam dan mani binatang yang dagingnya dimakan
adalah suci; tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah
najis.
- Nanah: Najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.
- Kencing: Air kencing dan kotoran anak Adam adilah naps menurut semua mazhab.
- Sisa Binatang:
Ada dua kelompok binatang, yaitu yang terbang dan yang tidak terbang.
Masing-masing kelompok itu dibagi menjadi dua, yaitu yang dagingnya
dimakan dan yang dagingnya tidak dimakan. Kelompok binatang terbang
yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki
menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang dagingnya
dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang dagingnya tidak dimakan
misalnya serigala, dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi’i
berkata: Semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam,
hukumnya najis. Kotoran unta dan kotoran kambing najis. Kotoran kuda,
bagal, dan lembu, semuanya najis. Imamiyah berkata: Sisa-sisa
burung yang dagingnya dimakan ataupun tidak, semuanya suci; begitu juga
hewan yang darahnya tidak mengalir, baik yang dagingnya dimakan maupun
tidak. Adapun binatang yang mempunyai darah mengalir, jika dagingnya
dimakan, seperti unta dan kambing maka sisanya suci; dan jika dagingnya
tidak dimakan seperti beruang dan binatang buas lainnya maka sisanya
najis. Dan setiap binatang yang dagingnya diragukan halal-haramnya, maka
sisanya suci hukumnya. Hanafi berkata: Sisa-sisa binatang yang
tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang
terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung
ciak sisanya suci; jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa
maka sisanya najis. Hambali dan Syafi’i berkata: Sisa-sisa
binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci; sedangkan sisa-sisa
binatang yang darahnya mengalir dan dagingnya tidak dimakan hukumnya
najis, baik yang terbang maupun tidak. Dan semua mazhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu adalah najis.
- Benda cair yang memabukkan: Adalah najis menurut semua mazhab. Tetapi Imamiyah
menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal
ini dimaksudkan agar tidak ada upaya menjadikan benda memabukkan yang
cair diubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, padahal
hukumnya tetap najis. Ada baiknya jika kita petik kata-kata salah
seorang pengarang fuqaha Imamiyah: Ulama Sunnah dan
Syi’ah sepakat tentang najisnya arak, kecuali sebagian dari kami dan
sebagian dari mereka yang menyalahi ketentuan ini, dan mereka tidak
diakui oleh kedua kelompok.
- Muntah: Hukumnya najis menurut empat mazhab dan suci menurut Imamiyah.
- Madzi dan Wadzi: Keduanya najis menurut mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi, serta suci menurut mazhab Imamiyah.
Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi najis.Madzi adalah cairan yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing. Empat mazhab berpendapat bahwa muntah, madzi dan wadzi hukumnya najis, sedangkan Imamiyah berpendapat tidak. Bahkan Imamiyah satu-satunya mazhab yang berpendapat bahwa peluh orang yang junub, baik junub karena zina, liwat, dengan binatang, atau berusaha mengeluarkan mani dengan cara apa-pun, adalah najis. Sisa Air dalam BejanaHanafi, Syafi’i dan Hambali
berkata: Sisa air anjing dan babi hukumnya najis. Mereka juga sepakat
bahwa sisa air dari bagal dan keledai itu suci tetapi tidak menyucikan. Hambali
berkata: Tidak boleh berwudhu dengan sisa air dari semua binatang yang
daging-nya tidak dimakan kecuali kucing hutan dan yang lebih kecil
darinya seperd tikus dan Ibnu Am (hampir sama dengan tikus). Hanafi
menghubungkan sisa anjing dan babi itu dengan sisa peminum arak segera
setelah ia meminumnya. Begitu juga halnya sisa kucing setelah makan
tikus, sisa binatang buas seperti singa, serigala, harimau binatang dan
harimau belang, musang, dan al-dhubu”77 Ibnu Abidin, I: 156. Imamiyah
berkata: Sisa air yang diminum binatang najis seperti babi dan anjing
hukumnya najis. Sisa air yang diminum binatang bersih hukumnya suci,
baik binatang yang dagingnya dimakan maupun tidak. Maliki berkata: Sisa air yang diminum anjing dan babi, suci dan menyucikan serta dapat diminum.8 Hukum Khalwat Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa menghadap Kiblat atau membelakanginya ketika berhajat, dalam lindungan atau tempat lapang yang ada pelindungnya, hukumnya tidak haram. Mereka berselisih pendapat tentang berhajat di tempat lapang yang tidak terlindung. Syafi’i dan Hambali berpendapat tidak haram, sedangkan Maliki berpendapat haram. Hanafi berpendapat, bahwa makruh berhajat di dalam ruangan dan haram berhajat di tempat lapang sehubungan dengan membelakangi atau menghadap Kiblat. Imamiyah berkata: Haram menghadap Kiblat dan membelakanginya baik dalam ruangan atau di tempat lapang, ada pelindung ataupun tidak. Semua mazhab sepakat bahwa air yang suci itu dapat menyucikan najis dari tempat keluar kencing dan tinja. Empat mazhab berpendapat bahwa batu memadai untuk membersihkan keduanya. Imamiyah
berpendapat: Tidak memadai menyucikan tempat keluar kencing kecuali
dengan air. Adapun tempat keluar tinja, dapat memilih di antara basuhan
air dan sapuan dengan tiga biji batu atau potongan-potongan kain kecil
yang suci, hal ini (pilihan yang kedua) dilakukan jika najis itu tidak
mengalir dari tempat keluarnya, jika mengalir maka hendaknya dibersihkan
dengan air.9 Batu dan sejenisnya untuk menyapu itu jumlahnya dipastikan pada mazhab Imamiyah, Syafi’i dan Hambali, walaupun dengan kurang dari tiga biji sudah bersih. Tetapi Maliki dan Hanafi
tidak menganggap jumlah batu itu sebagai syarat, hanya saja ia
mengharuskan menyucikan najis dari tempat keluarnya, dengan benda cair
yang bersih selain air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar